Hi. Everyone happy? Or at least content? Or, failing that, somewhere on the satisfaction spectrum above suicidal, homicidal, or, God forbid, itchy?
Just checking. I'm going to try something... well, not exactly new, just something I haven't done in quite a while. I'm going to let the Bahasa Indonesia-speaking fragment of me out. He seems to have something to say, so please wait here while I go fetch him.
*******
Hai! Wah, sudah lama sekali ya, saya tak berbuat seperti ini. Ini apa? Menulis dengan bahasa Indonesia, dong. Coba kita lihat hasilnya nanti.
Kenapa tiba-tiba jadi menulis dalam bahasa Indonesia?
Jadi kemarin siang saya naik angkot. Ini terjadi di Bandung. Nah, di angkot ini, ada seorang ibu yang... kenormalan pikirannya mungkin layak dipertanyakan. Ibu ini membawa sebuah kantong plastik hitam berisi beberapa bungkusan koran yang bentuknya seperti bungkusan nasi pada umumnya, dan kerupuk dalam plastik-plastik kecil yang hampir bening. Asumsikan saja bahwa beliau membawa beberapa porsi nasi bungkus. Nasi goreng, kuning, uduk, putih, silakan pilih, karena bungkusan-bungkusan ini tidak penting perannya dalam cerita. Beliau juga membawa sebuah dompet kulit kecil berwarna hitam, tempat ia menyimpan uangnya, namun dompet ini pun tidak terlalu relevan dalam narasi ini, sehingga kalimat terakhir ini dapat diabaikan dan Anda hanya perlu membaca sebagian dari paragraf ini, tidak perlu sampai selesai.
Ibu ini duduk di bagian belakang angkot, di sebelahnya ada ruang kosong, dan di sebelah ruang kosong tersebut duduklah seorang perempuan muda, kira-kira antara 18-25 tahun umurnya. Perempuan muda ini duduk dengan agak menghadap ke depan, seakan ingin menjauh dari sang ibu sejauh yang dimungkinkan dimensi angkot ini.
(Agar mudah, mari mulai sekarang kita sebut perempuan ini dengan nama Chalchiuhtlicue. Sang ibu akan tetap kita sebut sebagai sang ibu.)
Pada saat ini saya belum punya dugaan apa-apa mengenai situasi kewarasan sang ibu.
Saya masuk ke dalam angkot, lalu duduk di bagian angkot yang berseberangan dengan kedua wanita tadi. Kepala kami bertiga, jika dianggap sebagai benda titik, membentuk segitiga sama kaki.
Saat saya duduk, sang ibu sedang mengatur penempatan bungkusan-bungkusan dalam kantong plastiknya sembari berbicara kepada Chalchiuhtlicue. Ibu ini, yang sejujurnya terlihat agak dekil, berbicara dalam bahasa Inggris, namun entah mengapa, Chalchiuhtlicue hanya tersenyum dan mengeluarkan suatu bunyi, "Hmm," tanpa membuka mulutnya. Ini, beserta dengan cara Chalchiuhtlicue memosisikan dirinya, membangkitkan dugaan dalam benak saya bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dengan ibu ini. Setelah didengarkan sejenak, ternyata kata-kata sang ibu lebih mirip celotehan, bahkan mungkin masuk dalam kategori racauan, sehingga dugaan awal saya bertambah kuat.
Setelah saya duduk, dan angkot mulai melaju, sang ibu mendongak ke depan, mungkin karena susunan barang di dalam kantong plastiknya sudah cukup memuaskan baginya. Ia melihat saya. (Kebetulan rambut saya sedang diikat ke atas dalam suatu gelungan hari itu.) Kontan ia menyentuh lutut saya, saya bergidik sedikit, lalu sang ibu berkata, "Mas! Kayak Patih Gajah Mada!"
Sang ibu kemudian menoleh ke arah Chalchiuhtlicue, dan untuk memastikan ia bertanya pada Chalchiuhtlicue, "Ya kan Mbak? Sampe kaget saya!"
Chalchiuhtlicue, seperti sebelumnya, hanya tersenyum dan menggumam, namun kali ini ditambah dengan sedikit anggukan.
"Kuat, gagah," lanjut sang ibu. Sampai sekarang saya tak tahu pasti pernyataan ini dimaksudkan untuk menggambarkan saya atau Patih Gajah Mada.
Barangkali di antara pembaca ada yang bertanya-tanya, apa reaksi saya? Apakah tersipu malu dan menyangkal dengan terbata-bata? Ataukah dengan mantap tertawa dan berterima kasih? Sayangnya, bukan keduanya. Saya bertindak sesuai dengan pengaturan default saya ketika berhadapan dengan orang yang kewarasannya tidak jelas, yaitu hampir sama sekali tidak menanggapinya. Dengan mata malas, saya melirik sang ibu, sedikit mengangkat alis, kemudian kembali menatap pemandangan di balik kaca angkot dengan penuh perhatian.
"Dari mana?" tanya sang ibu, seakan saya teman lamanya yang sudah setengah hari tidak ditemui.
Oh, Cikapundung cukup deras hari ini, pikir saya diam-diam, sambil menunjuk ke arah yang tidak jelas sebagai jawaban bagi pertanyaan sang ibu.
"Mahasiswa ya?" kejar sang ibu.
Alis sedikit menaik, mulut sedikit menganga, kepala sedikit mengangguk. Tanpa kata.
"Oh pasti pinter ya?" lanjut sang ibu, namun dengan nada yang tidak seantusias sebelumnya.
Ah, bagus, sudah malas dia, pikir saya.
"Very clever. Good man," ujar sang ibu.
Mata saya sedikit membelalak, tersentak dengan penggunaan kata clever yang saya rasa tidak terlalu umum ditemukan di jalanan.
Setelah itu saya, Chalchiuhtlicue, dan sang ibu tidak berkata-kata lagi, selain sedikit gumaman tidak jelas dari sang ibu. Setelah selang beberapa lama, sang ibu berseru "Kiri," mantera yang memiliki efek menghentikan angkot yang sedang dinaiki, walaupun tingkat akurasi mantera ini berbeda-beda untuk tiap angkot. Setelah sang ibu turun dan angkot berjalan tidak seberapa jauh, Chalchiuhtlicue turut merapal mantera yang sama dan juga pergi meninggalkan angkot.
Sampai sekarang saya tidak pernah bertemu dengan sang ibu ataupun Chalchiuhtlicue lagi.
Malamnya, setelah siangnya berbuat hal-hal yang tidak akan saya paparkan di sini, saya berbelanja di sebuah convenience store. Saat bergerak ke kasir, dan menunggu untuk membayar belanjaan saya (sekotak susu dan beberapa bungkus mi instan, terima kasih sudah menanyakan), ada seorang bapak yang terlihat takjub dengan sebotol air yang dijual.
"Wah, ini air mineral?" tanya sang bapak kepada kasir.
"Iya, Pak," jawab si kasir.
"Ini harganya berapa?" sang bapak bertanya kembali.
"Dua ribu tiga ratus, Pak," jawab si kasir.
"Dua ribu tiga ratus? Wow!" ujar sang bapak sambil agak tertawa kaget.
Saat itu sang bapak melihat kepada saya dan berucap, "Mineral water? Is that true?"
Saya hanya tersenyum, setengah bingung dan setengah tidak yakin harus menjawab apa.
Untungnya sang bapak hanya tertawa kecil dan melanjutkan, "Is that true? But it's so cheap!"
Mungkin perlu saya sebutkan bahwa bapak ini, jika hanya menilik dari penampilan luar, sepertinya orang Indonesia tulen.
Agar dapat segera menyelesaikan urusan pembayaran, sambil agak tertawa mengikuti perilaku sang bapak, saya berkata pada sang bapak, "Haha, pokoknya air putihlah, Pak."
"Ah, ya, air putih. Hahaha. Tapi karena tulisannya 'Air Mineral,' kita ambil deh."
Lalu malam itu berakhir tanpa peristiwa berarti selain peristiwa di dalam kamar saya yang melibatkan sekumpulan semut dan sebuah puntung rokok.
Bapak itu, seperti sang ibu di angkot dan Chalchiuhtlicue, juga tidak pernah saya lihat lagi semenjak malam itu.
-------
Kenapa saya menulis tentang ini? Kenapa saya bercerita tentang satu hari saat dua orang yang kelihatannya tidak berhubungan berkomunikasi dengan saya dengan bahasa Inggris yang menurut saya cukup baik, cukup jauh di atas rata-rata, di tempat yang tidak disangka? Kenapa saya melakukannya dalam bahasa Indonesia?
Oh, terakhir kali saya menulis dengan bahasa Indonesia, saya masih menggunakan "gw." Entah apa yang saya pikirkan dulu.
No comments:
Post a Comment