Tuesday, September 26, 2017

A Lunch Box for the Soul



Aku baru selesai membaca Takasugi's Lunch Box (Takasugi-San Chi no Obentou) sampai tamat.

Dari judulnya, mungkin akan banyak yang menyangka bahwa Takasugi's Lunch Box (selanjutnya kusebut Lunch Box saja ya) adalah komik kuliner, seperti A Chef of Nobunaga (Nobunaga no Chef) atau Yakitate!! Japan. Tidak salah, sih, memang ia sedikit banyak bercerita tentang masakan. Namun fokus Lunch Box agak berbeda dengan komik-komik lainnya di atas.


Komik kuliner lainnya yang aku tahu (ya, dua komik tadi) biasanya bergantung pada adegan memasak yang digambarkan sangat realistis dan dinamis. Gambarnya selalu membuat kita merasa berada tepat di dapur bersama koki, di hadapan api yang membara. Apalagi jika ada adegan flambé atau menumis yang heboh. Panasnya terasa, baunya tercium. Tidak demikian dengan Lunch Box. Di sini, ketimbang memasak, lebih pas jika kita sebut fokusnya sebagai "mempersiapkan makanan." Alih-alih adegan masak yang heboh, yang ada malah daftar bahan dasar beserta panduan rinci memasak, menyajikan, dan juga menyimpan makanan, yang biasanya dimuat dalam satu panel setengah halaman dengan tulisan kecil. Tidak wah, tidak glamor, bahkan kadang tidak menarik . . . tetapi substansial.

Pantas. Karena komik ini bercerita tentang kehidupan dua orang sepupu yatim piatu yang, karena satu dan lain hal, hidup bersama. Mereka pada awalnya mengalami kesulitan berkomunikasi dan memahami satu sama lain, namun satu hal yang ternyata dapat membantu menjembatani ruang ini adalah . . . bekal makan siang yang dibawa setiap hari. Karena meskipun kadang terlihat tidak mengundang, tidak keren, bekal bukan hanya sekadar "makanan yang dibawa dari rumah," namun banyak hal yang dapat disampaikan lewat bekal. Di sini Lunch Box mirip dengan komik kuliner lain, yang salah satu pesan utamanya adalah "masakan itu bukan sekadar makanan." Lihat lebih dekat, kecap lebih dalam. Untuk mendapatkan ini tidak hanya memetik di semak, tetapi ada usaha di dalamnya. Nilainya lebih dari jumlah komponen-komponennya.


Namun yang membuatku merasa Lunch Box berbeda dari komik kuliner lainnya adalah bahwa makanan, dalam bentuk bekal, walaupun menjadi unsur yang menyatukan dan mengikat, bergeser ke latar belakang selama sebagian besar cerita dan memberi ruang bagi unsur-unsur lain. Memang setengah dari judul komiknya adalah Lunch Box, namun separuh lainnya adalah Takasugi's. Dan Takasugi adalah seorang pemuda berusia 31 tahun yang memiliki gelar doktor dalam bidang geografi. Aku tak tahu banyak perihal disiplin ilmu geografi selain yang kudapat di sekolah (ya ampun, berapa tahun yang lalu itu!), namun dalam komik ini geografi digambarkan sebagai bidang yang melibatkan manusia dan lingkungan secara menyeluruh. Antropologi, sosiologi, meteorologi, ekonomi, linguistik, dan mungkin masih banyak lagi unsur yang terlibat di dalamnya. Ini memungkinkan Takasugi - dan pengarang - untuk melihat hampir semua aspek kehidupan, tidak hanya hubungan antarpribadi, dari sudut pandang keilmuan . . . dan menyampaikan kesimpulan dan harapan mereka dalam kotak-kotak bekal.

Biasanya aku membutuhkan waktu sekitar dua puluh hingga tiga puluh menit untuk membaca satu tankoubon (sekitar 200 halaman komik, mungkin?). Namun untuk Lunch Box, aku menghabiskan empat puluh menit hingga satu jam, bahkan kadang lebih. Komiknya terasa padat, dalam arti yang bagus. Banyak tulisan, namun bagiku ini justru membuatku lebih bisa menikmati gambar yang walaupun tidak bergaya realis, namun penuh detail. Rasanya seperti melihat album foto yang disusun secara kronologis dan dinarasikan rinci oleh pengarangnya. Hampir tidak ada adegan aksi maupun peralihan antarpanel yang dinamis. Kita justru diajak untuk lebih santai dalam mencernanya. Tenang saja. Tak perlu terburu-buru membalik halaman. Tinggallah di sini sebentar lagi. Nikmati saja dulu. Bel belum berbunyi. Masih ada waktu.


Banyak sekali komik yang, saat mendekati akhir, bermasalah dalam mengatur tempo. Lunch Box tidak. Sepanjang serialisasinya, langkah yang perlahan, tanpa tergesa-gesa ini tetap dapat dipertahankan. Kurasa ini artinya rating-nya stabil dan penerbit aslinya tidak merasa perlu menghentikan serial ini di tengah jalan? Apapun artinya, aku sangat gembira dapat membaca komik seperti ini. Ceritanya tidak menjadi dipaksakan. Selalu realistis, dan karena itu selalu mengena di hati.

Kurasa Takasugi's Lunch Box sudah menjadi salah satu komik dewasa favoritku. Dewasa, bukan dalam arti penuh adegan seksi atau bahasa vulgar atau kekerasan, melainkan dalam arti sebaliknya: rumit dan penuh pertimbangan. Diriset dengan baik dan penuh pemikiran, menyentuh topik-topik yang relatif jarang dibicarakan, terasa luas dan dalam. Kurasa ia dapat disebut setingkat dengan Tomo'o (Danchi Tomoo) dan Chibi Maruko-Chan, sebagai komik esai mengenai kehidupan. (Ya, menurutku Maruko pantas disebut sebagai komik dewasa. Atau, paling tidak, ia komik yang dapat dibaca oleh segala usia, namun, seperti film Inside Out, akan dapat lebih sepenuhnya dinikmati oleh orang dewasa.)


Aku sangat bersyukur telah mendapat kesempatan membaca Takasugi's Lunch Box. Komik ini ditulis dengan baik, dan aku berterima kasih pada Nozomi Yanahara yang telah menulisnya. Aku yang tak mampu berbahasa Jepang dapat membacanya, dan aku bersyukur atas Level Comics dan Elex Media Komputindo yang telah menerbitkannya. Khususnya Yenny Thie (penerjemah), Ellen (editor, jilid 1), Adisti (editor, jilid 2 - 10), dan Aji Y. (desain sampul). Semuanya, terima kasih sudah memungkinkanku membaca Takasugi's Lunch Box.


Bacalah Takasugi's Lunch Box. Kalau mau pinjam punyaku, dengan senang hati aku akan pinjamkan.


No comments: